Oleh: dr. Raehanul Bahraen
Tulisan ini merupakan lanjutan tulisan kami sebelumnya yaitu:
Kami berusaha mengumpulkan fatwa ulama, keterangan para ustadz dan ahli medis mengenai bolehnya imunisasi. Sehingga
kami berharap saudara kita, muslim yang lainnya bisa menghormati muslim
yang melaksanakan fatwa para ulama dan keterangan ustadz yang
membolehkan imunisasi. Tidak mencela mereka yang melaksanakan imunisasi,
apalagi sampai mempertanyakan keimanannya karena dianggap tidak percaya
dengan thibbun nabawi atau tidak tawakkal dengan apa yang Allah
anugrahkan yaitu imunitas alami tubuh. Ini adalah pernyataan yang kurang tepat
Kami juga sampai saat ini belum
mendapatkan fatwa ulama dunia -yang diakui keilmuannya oleh dunia islam
yang bersifat internasional – yang mengharamkan imunisasi dan vaksinasi. Jika ada yang mendapatkannya, kami harap memberi tahu, sebagai pertimbangan kami untuk membuat kelanjutan tulisan selanjutnya.
Berikut sumber fatwa ulama dan keterangan para ustadz:
A.Fatwa-Fatwa Ulama Dunia
1. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
[Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi ketua Lajnah Daimah dan Mantan Rektor Universitas Islam Madinah]
Ketika beliau ditanya ditanya tentang hal ini,
ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟
“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”
Beliau menjawab,
لا
بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع
الداء بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع لبلاء الذي يخشى منه لقول النبي
صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح: «من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة
لم يضره سحر ولا سم (1) » وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي
من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو في أي كان لا بأس بذلك من باب
الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه
.
“La ba’sa (tidak masalah)
berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit
karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah
menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang
dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”
Ini termasuk
tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika
dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk
melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal
itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan.
Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang
dikhawatirkan kemunculannya.
[sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238]
2. Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah
[Imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen ilmu-ilmu keagamaan, pengasuh situs www.islam-qa.com]
Dalam fatwa beliau mengenai imunisasi dan valsin beliau menjawab. Rincian bagian ketiga yang sesuai dengan pembahasan imunisasi dengan bahan yang haram tetapi memberi manfaat yang lebih besar. syaikh berkata,
لقسم
الثالث : ما كان منها مواد محرَّمة أو نجسة في أصلها ، ولكنها عولجت
كيميائيّاً أو أضيفت إليها مواد أخرى غيَّرت من اسمها ووصفها إلى مواد
مباحة ، وهو ما يسمَّى ” الاستحالة ” ، ويكون لها آثار نافعة
وهذه اللقاحات يجوز تناولها لأن الاستحالة التي غيَّرت اسم موادها ومواصفاتها قد غيَّرت حكمها فصارت مباحة الاستعمال .
وهذه اللقاحات يجوز تناولها لأن الاستحالة التي غيَّرت اسم موادها ومواصفاتها قد غيَّرت حكمها فصارت مباحة الاستعمال .
“rincian ketiga: vaksin
yang terdapat didalamnya bahan yang haram atau najis pada asalnya. Akan
tetapi dalam proses kimia atau ketika ditambahkan bahan yang lain yang
mengubah nama dan sifatnya menjadi bahan yang mubah. Proses ini dinamakan “istihalah”. Dan bahan [mubah ini] mempunyai efek yang bermanfaat.
Vaksin jenis ini bisa digunakan karena “istihalah” mengubah nama bahan dan sifatnya. Dan mengubah hukumnya menjadi mubah/boleh digunakan.”
[Dirangkum dari sumber: http://www.islam-qa.com/ar/ref/159845/%D8%AA%D8%B7%D8%B9%D9%8A%D9%85 ]
3. Fatwa Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian [المجلس الأوربي للبحوث والإفتاء] memutuskan dua hal:
أولا:
إن استعمال هذا الدواء السائل قد ثبتت فائدته طبيا وأنه يؤدي إلى تحصين
الأطفال ووقايتهم من الشلل بإذن الله تعالى، كما أنه لا يوجد له بديل آخر
إلى الآن، وبناء على ذلك فاستعماله في المداواة والوقاية جائز لما يترتب
على منع استعماله من أضرار كبيرة، فأبواب الفقه واسعة في العفو عن النجاسات
– على القول بنجاسة هذا السائل – وخاصة أن هذه النجاسة مستهلكة في
المكاثرة والغسل، كما أن هذه الحالة تدخل في باب الضرورات أو الحاجيات التي
تن-زل من-زلة الضرورة، وأن من المعلوم أن من أهم مقاصد الشريعة هو تحقيق
المصالح والمنافع ودرء المفاسد والمضار.
ثانيا: يوصي المجلس أئمة المسلمين ومسئولي مراكزهم أن لا يتشددوا في مثل هذه الأمور الاجتهادية التي تحقق مصالح معتبرة لأبناء المسلمين ما دامت لا تتعارض مع النصوص القطعية
Pertama:
Penggunaan obat
semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat
melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah.
Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat
ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam
rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena
mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya.
Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa
menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis).
Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak
(melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu
pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang
dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at
adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan
bahaya.
Kedua:
Majelis
merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah
posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang
nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak
bertentangan dengan dalil yang definitif (qoth’i).
B.Fatwa Lembaga dan Organisasi Islam di Indonesia
1. Fatwa MUI [Majelis Ulama Indonesia]
Fatwa MUI 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M [Fatwa Terbaru MUI]
Fatwa no. 06 tahun 2010 tentang, Penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah
Fatwa no. 06 tahun 2010 tentang, Penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah
Menetapkan ketentuan hukum:
1.Vaksin MencevaxTM ACW135Y hukumnya haram
2.Vaksin Menveo meningococal dan vaksin meningococcal hukumnya halal
3.Vaksin yang boleh digunakan hanya vaksin yang halal
4.Ketentuan dalam fatwa MUI nomor 5 tahun 2009 yang menyatakan bahwa bagi orang yang melaksanakan wajib haji atau umrah wajib, boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena Al-hajah [kebutuhan mendesak] dinyatakan tidak berlaku lagi
2.Vaksin Menveo meningococal dan vaksin meningococcal hukumnya halal
3.Vaksin yang boleh digunakan hanya vaksin yang halal
4.Ketentuan dalam fatwa MUI nomor 5 tahun 2009 yang menyatakan bahwa bagi orang yang melaksanakan wajib haji atau umrah wajib, boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena Al-hajah [kebutuhan mendesak] dinyatakan tidak berlaku lagi
2. Fatwa dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Pertanyaan dari Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup, tentang status hukum vaksin,
khususnya untuk imunisasi polio yang dicurigai memanfaatkan enzim dari
babi.
Jawaban:
Sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi polio yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah mubah atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas dari enzim itu.
Sehubungan dengan itu, kami menganjurkan kepada pihak-pihak yang
berwenang dan berkompeten agar melakukan penelitian-penelitian terkait
dengan penggunaan enzim dari binatang selain babi yang tidak diharamkan
memakannya. Sehingga suatu saat nanti dapat ditemukan vaksin yang
benar-benar bebas dari barang-barang yang hukum asalnya adalah haram.
3. Fatwa LBM-NU [Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama] Indonesia
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan menindak lanjuti hasil sidang Lembaga Bahtsul Matsail NU (LBM-NU). Kesimpulan sidang menyatakan secara umum hukum vaksin meningitis suci dan boleh dipergunakan.
Menurut Katib Aam Suriah PBNU, Malik
Madani, keputusan tersebut merupakan kesimpulan di internal LBM-NU.
Secara pasti, hasilnya akan segera dibahas di kalangan suriah. ‘Tunggu
hasilnya bisa disetujui dan bisa tidak,’ ujar dia kepada Republika di Jakarta, Rabu (1/9)
Apapun hasilnya kelak, ungkap Malik,
PBNU merekomendasikan ke pemerintah agar melakukan vaksinasi kepada para
jamaah haji dengan memakai vaksin yang halal berdasarkan syari’i. Hal
ini penting, agar jamaah haji mendapat rasa nyaman dan kekhidmatan
beribadah. Selain itu, masyarakat dihimbau tidak terlalu resah dengan
informasi apapun terkait vaksin meningitis yang belum jelas.
Ketua LBM-NU, Zulfa Musthafa,
mengemukakan berdasarkan informasi dan pemaparan sejumlah pakar dalam
sidang LBM-NU diketahui bahwa semua produk vaksin meningitis pernah
bersinggungan dengan enzim babi. Termasuk produk yang dikeluarkan oleh
Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i dan Meningococcal Vaccine
produksi Zheijiang Tianyuan Bior Pharmaceutical Co. Ltd. Akan tetapi,
secara kesuluruhan hasil akhir produk-produk tersebut dinilai telah
bersih dan suci.
Zulfa menuturkan, dalam pembahasannya,
LBM-NU tidak terpaku pada produk tertentu. Tetapi, pembahasan lebih
menitik beratkan pada proses pembuatan vaksin. Hasilnya, secara umum
vaksin meningitis suci dan boleh dipergunakan. ”Dengan demikian, vaksin
jenis Mancevax ACW135 Y, produksi Glaxo Smith Kline (GSK), Beecham
Pharmaceutical, Belgia pun bisa dinyatakan halal,” tandas dia
C. Keterangan Para Ustadz di Indonesia
1. Ustadz DR. Arifin Badri, MA hafizhahullah
[Lulusan Doktoral Fikh Universitas Islam Madinah]
Beliau berkata dalam buku “imunisasi Syariat”:
“ sebagai contoh
nyata bagi apa yang saya paparkan ialah: apa yang beberapa lalu hangat
dibicarakan, yaitu isu bahwa sebagian vaksin imunisasi meningitis yang
[katanya] pada proses produksinya mengggunakan enzim tripsin yang
berasal dari serum babi.
Semestinya
isu ini ditindak lanjuti oleh pakar ilmu medis dari umat Islam,
terutama instansi pemerintah terkait. Selanjutnya hasil penelitian dan
investigasi mereka dipaparkan di hadapan ulama. Sehingga kebenaran hukum syar’i akan dapat dicapai. Dengan demikian masalah ini tidak
hanya berhenti sebagai isu yang dilontarkan ke masyarakat, kemudian
menimbulkan keresahan dan kebingungan dan tidak ada kepastian.
sebagaimana kita
ketahui bersama, pernyataan berbagai pihak terkait, saling
bertentangan. Satu pihak misalnya Direktur perencanaan dan pengembangan
PT.Bio Farma, Drs. Iskandar, Apt, M,M menyatakan bahwa enzim tripsin
babi hanya berfungsi sebagai katalisator dalam proses pembuatan vaksin. Tripsin
babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan
sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Dan pada hasil akhirnya, enzim
tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi tidak
terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian
dan penyaringan, sehingga hasil akhirnya tidak ditemukan lagi sedikitpun
dari serum babi.
Bila ynag diungkapkan oleh Drs, Iskandar ini benar adaya, maka tidak ada alasan yang kuat untuk menfatwakan haram meningitis. Karena vaksin meningitis ini minimal bisa serupa dengan hewan jallalah, yaitu hewan ternak yang mayoritas pakannya adalah barang-barang najis.
عن ابن عمر قال نهى رسول الله صلى الله علسه و سلم عن أكل الجلالة و ألبانها
“Dari Ibnu
Umar, ia menuturkan: Rasulullah shalallahu ‘alaii wa sallam melarang
umatnya dari memakan daging hewan jallalah dan meminum susunya.” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah]
[Sumber: Buku Imunisasi syariat hal 122-124, Pustaka Darul Ilmi]
2. Ustadz Firanda Andirja, MA hafizhahullah
[Lulusan Master jurusan Akidah Universitas Madinah, Calon Doktor di jurusan yang sama. Pengasuh situs www.firanda.com. Beliau sempat menjadi mahasiswa jurusan tehnik kimia UGM]
Beliau berkata ketika ditanya tentang vaksinasi haji:
“enzim babi yang
digunakan dalam vaksin adalah sebagai katalisator, katalisator itu
hanya sebagai perantara reaksi dan tidak bersatu dengan enzim dan sudah
tidak ada lagi dalam hasil reaksi, jika demikian tidak mengapa”
[sumber: intisari rekaman kajian tanya-jawab ustadz Firanda, ada dipenyusun, bisa didownload di situs www.kajian.net ]
Catatan: ini
kemungkinan besar keterangan terbaru beliau karena ada juga rekaman
kajian, beliau mengatakan “tidak tahu” dan membawakan kaidah umum
mengenai penimbangan mashlahat dan mafsadat dalam suatu perkara
3. Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah
[Lulusan Markaz Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Pimred Majalah Al-Furqon, pengasuh situs www.abiubaidah.com]
Dalam tulisan beliau di Majalah Al Forqan, Edisi 05 Th. ke – 8 1429 H/2008 M dengan judul Imunisasi Dengan Vaksin Dari Enzim Babi:
Kesimpulan dan Penutup:
Setelah
keterangan singkat di atas, kami yakin pembaca sudah bisa menebak
kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2.Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
3.Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.
4.Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.
5.Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.
2.Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
3.Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.
4.Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.
5.Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.
Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini, maka janganlah kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini.
Namun seperti yang kami isyarakatkan di muka bahwa pembahasan ini
belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan
pengetahuan dan penelitian baik sari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i
agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada
Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin.
4. Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary hafizhahullah,
[Lulusan Pascasarjana Jurusan Ulumul Hadits, Islamic University of Medina, KSA. Pengasuh situs www.basweidan.wordpress.com]
Ketika ditanya mengenai imunisasi,
“apakah di saudi
bayi-bayinya diberi imunisasi lengkap sampai usia 1 tahun? apakah ada
fatwa yang mengharamkan vaksin imunisasi pada bayi? mohon infonya,
ustadz. karena bidan2 dan dokter2 hingga hari ini tetap memberikan
imunisasi, padahal sudah bukan rahasia umum lagi bahwa vaksin2 tersebut
mengandung unsur haram. hal ini juga telah dilansir di laman halalMUI.”
beliau menjawab:
“Di Saudi
imunisasi merupakan syarat utama untuk mendapatkan Akte Kelahiran Asli
dan bisa masuk sekolah. Karenanya semua orang yang ingin anaknya bisa
sekolah harus imunisasi lengkap, bahkan hingga 5 tahun dan buku
imunisasinya tidak boleh hilang…
Ala kulli haal,
saya sdh buka laman MUI, tp hasil pencarian yg saya dapatkan hanya
berkisar ttg Vaksin Meningitis… ga ada yg bahas Imunisasi anak-anak.
Kalau anti bisa dapatkan link-nya silakan kirim ke saya…
Sejauh ini saya
belum mendapatkan fatwa yg mengharamkan imunisasi, bahkan syaikh Bin
Baz membolehkan hal tersebut sebagai bentuk pencegahan… tentunya bila
vaksin yg digunakan adalah halal. Wallahu a’lam.”
[sumber: https://basweidan.wordpress.com/soal-jawab/ ]
5. Ustadz Aris Munandar, SS. MA hafizhahullah
[Pengasuh situs www.ustadzaris.com, aktif mengisi kajian dan daurah di Yogyakarta dan sekitar]
Beliau menjawab pertanyaan:
Assalamu’alaykum
Pak ustadz, maaf sebelumnya
adakah tulisan atau artikel tambahan berupa fatwa dari ulama ahlu sunnah (saudi arabia) secara spesisifik pada vaksin polio (dengan katalisator yang berasal dari babi)atau yang sejenisnya.
Pak ustadz, maaf sebelumnya
adakah tulisan atau artikel tambahan berupa fatwa dari ulama ahlu sunnah (saudi arabia) secara spesisifik pada vaksin polio (dengan katalisator yang berasal dari babi)atau yang sejenisnya.
Jawaban beliau:
Syaikh
Abdul Aziz alu syaikh, mufti Saudi saat ini ditanyai oleh Ust Abu
Ubaidah Yusuf Sidawi tentang vaksin yang menggunakan katalis unsur dari
babi namun pada produk akhirnya tidak ada lagi unsur babi tersebut. jawaban beliau singkat padat, “La ba’tsa” alias tidak mengapa.
dialog ini
terjadi setelah shalat Jumat di Masjid Syaikh Ibnu Baz di Aziziyah
setelah selesai prosesi manasik haji pada tahun 2008. yang ikut mendengar fatwa Syaikh Abdul Aziz ketika itu saya sendiri dan ust anwari, pengajar ma’had alfurqon Gresik.
6. Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST hafizhahullah
[Pengasuh situs Islami www.rumaysho.com,
Lulusan Tehnik Kimia UGM, mahasiswa Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA
(Master of Chemical Engineering), aktif menulis diberbagai situs islami
yang masuk jajaran situs terpopuler islami Indonesia versi http://fimadani.com/inilah-daftar-puncak-35-situs-islami-di-indonesia-akhir-tahun-2011/]
Beliau memberi keterangan tentang imunisasi:
“Jika dipahami bahwa enzim adalah hanya sebagai katalis, maka katalis itu tdk bercampur dg bahan ketika diperoleh produk akhir. Sifat katalis, langsung terpisah dg produk. Kalau memang terpisah spt ini, meskipun digunakan enzim babi, maka tdk ada masalah.
Namun jika enzim
tsb bercampur maka berlaku dua kaedah istihalah dan istihlak. Intinya,
dilihat pada produk akhir, jk tdk nampak lagi zat najis, maka kembali ke
hukum asal. Ada kaedah para ulama, “Hukum itu berputar pada illahnya (sebabnya), jika illah ada, maka ada hukum. Jk tidak, maka tdk.”
D. Keterangan Dokter dan Pakar Ahli
Berikut adalah tanya jawab mengenasi imunisasi dengan dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi beliau adalah:
1.Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia 2002-2008
2.Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI).
3.Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial, Magister Sains Psikologi Perkembangan.
“Saat ini beredar di masyarakat berbagai
pertanyaan dan keraguan terkait dengan kehalalan vaksin. Untuk menjawab
semua itu, Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia (PP IDAI) Dr. Soedjatmiko akan menjawabnya lewat tanya
jawab sebagai berikut:
[Admin - Dikarenakan
artikel yang panjang dan sebelumnya tanya jawab bersama Dr. Soedjatmiko
sudah pernah diposting di blog Moslemsunnah, jadi untuk membacanya bisa
dilihat disini -
Demikianlah yang dapat kami susun, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. amin yaa rabbal ‘alamin, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
16 Jumadil awal 1432 H, Bertepatan 8 April 2012
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
0 komentar:
Posting Komentar