Rabu, 17 Oktober 2012

Sejarah Singkat Penemuan Metode Qiraati

Sejarah Penemuan Metode Qiraati ini cukup panjang. Kerananya memerlukan pengamatan, penelitian, ujicuba yang memerlukan waktu yang cukup lama. Di sini kami akan bahagikan kepada beberapa tahapan….

rembulan1. Permulaan Penemuan 

Selain sebagai pedagang keliling dan tukang pijat, sebelum menemukan Metode Qiraati ini, beliau adalah seorang Guru mengaji dan seorang yang suka mengamati keadaan kelas-kelas mengaji di manapun beliau berkunjung.
Sebagaimana biasa sebagai seorang guru mengaji, beliau menggunakan Metode yang biasa dikenali dengan Turutan atau biasa juga disebut metode Baghdadiyah.
Hasil daripada pengalaman dan pengamatan beliau, anak-anak murid yang beliau ajar ternyata sebahagian besar mereka hanya mampu menghafal huruf bukan mengerti huruf. Dan jika dapat membacapun ternyata bacaannya tidak tartil seperti apa yang dikehendaki dalam bacaan Al Quran yang baik. Dan biasanya waktu bagi murid-murid untuk menguasai bacaan tartil diperlukan waktu yang lama. Terutama hal ini terjadi pada putra putri beliau setelah mengaji di musholla.
Berdasarkan pengalaman inilah beliau mencuba untuk mencari alternatif lain dengan cara membeli buku-buku kaedah baca al Quran dengan maksud agar dapat mencapai hasil yang lebih memuaskan. Namun setelah mengamati semua kaedah yang ada, ternyata beliau masih belum menemukan kepuasan. Beliau tidak yakin dengan kesuksesan kaedah-kaedah tersebut kerana berbagai sebab. Seperti menggunakan contoh-contoh perkataan yang bukan dari bahasa Arab atau dari al Quran bahkan ada yang berbunyi bahasa Indonesia atau bahasa Jawa.
Sejak itulah beliau mecoba memperkenalkan huruf terus dengan barisnya sekali dengan bacaan yang lancar dan cepat. Dalam waktu yang sama, anak-anak diperkenalkan dengan huruf-huruf yang tiada berbaris. Hanya bedanya dengan sistem yang lama, kaedah Qiraati tidak mewajibkan anak murid mengeja huruf ketika akan membaca sesebuah perkataan.
Ternyata setelah uji coba berulang-kali, beliau mendapatkan tehnik susunan seperti yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, susunan yang ada sekarang adalah hasil dari uji coba yang tidak perlu diragukan lagi.
2. Awal Penyusunan Metode Qiraati.
Dengan dorongan keinginan hati untuk mengajarkan al-Qur’an dengan baik dan benar, serta dengan keberanian yang didukung oleh inayah dan hidayah Allah SWT., KH. Dachlan Salim Zarkasyi mulai mencoba menyusun dan menulis sendiri metode yang dikehendakinya itu. Yakni metode yang berhasil dalam mengajar membaca al-Qur’an yang sekaligus mudah dan disukai oleh anak-anak.
Supaya anak-anak mudah membaca dan betul-betul mengerti serta faham, maka beliau mencoba menulis pelajaran dengan bacaan “bunyi” huruf hijaiyyah yang sudah berharakat “fathah”. Dalam pelajaran ini anak tidak boleh mengeja, misalnya alif fathah A, BA fathah BA, tetapi langsung membaca bunyi huruf yang sudah berharakat fathah tadi seperti: A-BA-TA dan seterusnya.
Agar anak bisa membaca dengan baik dan benar, maka sejak awal sekali anak sudah diharuskan membacanya dengan lancar, cepat dan tepat, tanpa ada salah dalam membaca. Dengan demikian secara tidak langsung anak harus mengerti dan faham setiap huruf Hijaiyyah.
Demikianlah, dengan penuh kesabaran dan ketelitian, sehuruf demi sehuruf beliau mencoba untuk diajarkan kepada anak didiknya walaupun nampaknya lambat, tetapi anak-anak faham dengan baik.
Agar anak terlatih dan dapat membaca benar, maka setiap contoh bacaannya diambilkan dari kalimat-kalimat al-Qur’an juga kalimat-kalimat bahasa Arab.
Setelah anak-anak lancar menbaca huruf-huruf Hijaiyyah yang berharakat fathah, kemudian dicoba dengan huruf-huruf yang berharakat kasrah dan dhommah. Demikian pula dengan huruf yang berharakat fathah tanwin, kasrah tanwin dan dhummah tanwin.
3. Pelajaran Bacaan Mad (bacaan panjang)
Sebagai seorang pedagang, KH. Haji Dachlan Salim Zarkasyi kerap mengunjungi banyak bandar dan pekan. Pada kesempatan ini beliau manfaatkan masa untuk mengamati kelas-kelas mengaji yang digunakan oleh guru-guru mengaji setempat, yakni di surau-surau, mushalla-mushalla atau masjid-masjid.
Hasil dari pengamatan beliau tentang bacaan santri-santri yang belajar di musalla atau masjid-masjid itu amat memperihatinkan. Mengingat mereka ternyata tidak memperhatikan bacaan panjang pendek. Hal ini biasanya disebabkan oleh kurangnya kewaspadaan guru terhadap bacaan santri terutama dalam bacaan mad asli (mad thabi’i).
Oleh karenanya, sekembalinya dari perjalanan, beliau melihat pentingnya pelajaran mad asli atau mad thabi’i. Maka disusunlah pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan mad asli dan contoh-contoh perkataannya diambilkan dari al Quran atau dari bahasa Arab. Kemudian diuji cobakan kepada anak-anak, manakala perkataan yang sukar akan diganti dengan perkataan yang lain yang lebih mudah difahami oleh anak-anak. Dan perkataan-perkataan tersebut ditashihkan kepada orang yang pakar al Quran dan bahasa Arab agar setiap perkataan mempunyai makna yang sesuai.
Akhirnya tersusunlah pelajaran bacaan mad, yang diawali dengan pelajaran fathah diikuti alif, kasrah diikuti ya’ dan dhummah diikuti wawu.
4. Huruf Sukun
Hampir bersamaan dengan awal penyusunan buku Qiraati pada tahun 1963 itu, KH. Dachlan Salim Zarkasyi bersama dengan sahabatnya ustadz Abdul Wahid membentuk jamaah Mal-Jum (malam jum’at), yakni jamaah tadarus al-Qur’an untuk orang-orang dewasa.
Suatu ketika saat tadarus al-Qur’an pada jemaah Maljum, beliau mendengar beberapa orang membaca huruf “Lam Sukun” salah. Ada yang membacanya dipanjangkan (ditahan lama lam sukunnya), ada pula yang membaca menggantung atau ‘tawallud’ atau melantun sehingga terdengar bunyi pepet’ (dalam bahasa Jawa), seperti Al-le, Allll…….
Melihat keadaan yang demikian, timbul pemikiran bahwa bacaan “lam Sukun” perlu dan penting untuk diajarkan kepada anak-anak. Kemudian beliau mencoba menulis dan menyusun pelajaran Lam Sukun ini ternyata tidaklah mudah, yakni Lam Sukun yang dibaca jelas dan tegas.
Namun dengan penuh kesabaran dan ketelitian, akhirnya tersusunlah juga pelajaran “Lam Sukun dibaca Jelas dan Tegas”, yang kemudian sekaligus dirangkaikan dengan pelajaran bacaan al-Qomariyyah.
Pelajaran bacaan al-Qomariyyah diberikan dengan tujuan untuk melatih anak membaca sambil melihat huruf-huruf yang akan dibaca di sebelahnya (di sampingnya).
Setelah berhasil dengan Lam Sukun, beliau mencoba dengan huruf-huruf yang lain. Secara kebetulan beliau mencoba dengan huruf “sin sukun”, ternyata tanpa kesulitan anak-anak langsung dapat membaca dengan mudah. Maka ditulislah contoh-contoh bacaan yang ada huruf Sin Sukunnya.
Di tengah-tengah pengenalan huruf-huruf sukun ini, beliau menyusun pelajaran bacaan “Harfu Liin” (bacaan fathah yang diikuti Ya atau Wawu sukun). Hal ini sangat penting untuk diajarkan dengan kesungguhan, karena banyak orang yang membaca al-Qur’an bersuara AO dan AE bukan bersuara AU dan AI, dan agar anak dapat membedakan bacaan harfu Liin dengan bacaan Mad.
Selanjutnya percobaan dengan huruf-huruf sukun ini dilanjutkan. Secara kebelutan pula beliau mencoba huruf “RO sukun”, ternyata dengan sangat mudah anak-anak dapat membaca dengan lancar. Begitu pula dengan mencoba huruf “MIM sukun” ternyata murid tidak menemui kesukaran juga.
Sekalipun ada maksud untuk mencoba huruf sukun yang lain, ternyata dengan empat huruf sukun ini anak sudah dapat membaca sendiri huruf-huruf sukun yang lainnya. Sehingga pelajaran huruf-huruf sukun yang beliau tulis hanya “Empat Serangkai Huruf Sukun” saja, yakni Lam Sukun, Sin Sukun, Ro Sukun, dan Mim sukun. Sehingga huruf-huruf sukun yang lain tidak perlu diajarkan, karena setelah mempelajari dan mengerti keempat huruf sukun tadi, secara otomatis anak-anak telah dapat membaca huruf-huruf sukun yang lain.
5. Malam Rahasia
Sebagaimana manusia umumnya, suatu ketika daya kreativiti KH. Dachlan Salim Zarkasyi terhenti tidak ada inspirasi manakala tidak mengetahui apa lagi yang harus diperbuat selanjutnya.
Perasaan ini beliau rasakan pada saat ada keinginan untuk mencari dan menyusun pelajaran yang diberikan kepada anak didik selanjutnya. Sepertinya akal dan pikiran buntu tidak dapat menemukan jawabannya. Namun, jika Allah menghendaki semuanya akan menjadi mudah.
Untuk menenangkan pikiran dan hati yang risau beliau mendengarkan, dan mengamati anak-anak yang sedang belajar mengaji di salah satu masjid di kota Semarang. Satu persatu anak-anak itu beliau perhatikan dengan mendengarkan bacaan mereka. Namun sampai pada anak yang terakhir, tidak ada satupun bacaannya yang benar, yakni bacaan tartil menurut kaidah Ilmu Tajwid. Hasil pengamatan ini beliau sampaikan kepada guru ngaji anak-anak tadi,
“Mengapa tidak ada satu pun dari anak-anak tadi yang membaca al-Qur’an dengan tartil?”
Namun jawabannya sungguh mengejutkan beliau,
“saya tidak sanggup kalau mengajar anak-anak supaya bisa membaca dengan tartil. Biarlah cukup anak-anak bisa membaca al-Qur’an dulu. Nanti kalau sudah khatam, barulah diajarkan ilmu Tajwid, tentu mereka akan mampu membaca al-Qur’an dengan tartil dengan sendirinya.”
Mendengar jawaban dari guru al-Qur’an seperti itu, jalan fikiran beliau tidak dapat menerimanya. Apakah mengajar bacaan tartil itu sukar? Jika sukar, kesukarannya dimana? Jika jawaban seorang guru ngaji seperti itu, lalu bagaimana dengan guru-guru ngaji yang bukan ahli al-Qur’an?
Kenyataannya memang demikian, mana mungkin dapat menghasilkan bacaan tartil jika tidak belajar ilmu Tajwid.
Perasaan dan fikiran beliau menjadi resah dan susah di atas jawaban, bahawa, “mengajar bacaan tartil itu sukar” sehingga terbawa-bawa dalam tidur beliau pada malam harinya.
Suatu ketika antara sedar dan tak sedar, beliau mendapatkan ilham dari Allah, seakan terpampang di hadapan beliau kunci pelajaran bacaan-bacaan tartil yang mesti diajarkan. Yakni dimulai dari “NUN SUKUN” yang dibaca “DENGUNG” (yang dalam ilmu tajwid dinamakan bacaan ikhfa’). Malam ini disebut oleh KH. Dachlan Salim Zarkasyi sebagi MALAM YANG LUAR BIASA.
Keesokan harinya beliau mulai menulis dan menyusun pelajaran NUN SUKUN yang tadi malam beliau temukan. Kemudian pada petang harinya beliau ujicobakan kepada anak-anak, ternyata anak-anak murid dengan mudah mampu mempelajarinya dan membacanya dengan baik dan benar sesuai dengan apayang beliau kehendaki.
Setelah sukses dengan nun sukun, beliau mencuba dengan tanwin, yang suaranya sama dengan nun sukun. Selanjutnya disusunlah pelajaran bacaan GHUNNAH yang diawali dengan NUN BERSYADDAH dengan kiasan bahawa bacaannya sama dengan dengungnya NUN SUKUN bertemu dengan NUN. Demikian pula dengan pelajaran MIM BERSYADDAH dengan kiasan bacaan dengungnya sama dengan NUN BERSYADDAH.
6. Akhir Penyusunan buku Metode Qiraati
Sebagaimana biasanya dalam menyusun pelajaran baru mesti ada penyebab yang menjadi puncak pelajaran tersebut disusun. Demikianlah pelajaran seterusnya sehingga selesainya metode tersebut.
Di antaranya adalah bacaan huruf-huruf bersyiddah selain huruf nun dan mim yang bersyiddah.
Suatu ketika dalam majlis tadarus al Quran yang beliau menyimak banyak orang yang membacanya salah, terutama dalam membaca “Lam bersyiddah” yiaitu membacanya dengan menahan suara huruf lamnya. Melihat keadaan demikian, maka disusunlah pelajaran huruf-huruf bersyiddah yang mesti dibaca tegas dan terang serta cepat, yang kemudian dirangkaikan dengan pelajaran “AL Syamsiyyah”.
Adanya pelajaran Mim sukun bertemu mim yang dibaca dengaung dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang belum dapat membedakan antara bacaan mim sukun bertemu mim dengan bacaan mim sukun bertemu dengan selain mim dan ba’.
Adapun pelajaran nun sukun/tanwin bertemu lam dan ro dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang membaca dengan menahan bacaan lamnya. Kemudian pelajaran dilanjutkan dengan pelajaran bacaan Nun sukun/tanwin bertemu dengan wawu dan ya, yang dibaca idgham dengan dengung.
Sedangkan pelajaran waqaf di akhir ayat dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang salah dalam menghentikan bacaannya, yaitu seolah-olah setiap waqaf dibaca panjang padahal tidak semuanya begitu.
Pelajaran membaca lafazh Allah dilatarbelakngi oleh bacaan yang salah, yakni lam kasrah dibaca dengan tebal seolah seperti lam berbaris atas atau dhummah.
Begitu juga dengan pelajaran Iqlab, qalqalah dan izhar halqi yang kesemuanya dilatar belakangi oleh banyaknya kesalahan yang dilakukan oleh para pembaca.
Demikianlah semua pelajaran yang telah berjaya beliau susun. kemudian dari tulisan-tulisan dikumpulkan dan dijilid, ternyata terkumpul menjadi sepuluh jilid atau sepuluh buku. Kemudian buku-buku tersebut dicetak dengan sablon dan dibahagikan kepada anak-anaknya mengikut tahapan pencapaiannya.

0 komentar:

Posting Komentar